Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
23.01.00 |
|![]() |
Rambu Solo, tradisi, ritual pemakaman suku Toraja |
Suku Toraja
adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000
di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja
Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama
Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Asal usul kata Toraja
sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan
referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya
sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya
(dalam keseharian kita masih sering mendengar orang-orang tua di Toraja
menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya
= dari kata Maraya (besar | bisa diartikan orang-orang besar atau
bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja
masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana
dapat diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman
mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang
akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah admistrasi Provinsi
Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Diatas adalah beberapa versi yang sering kita baca dari berbagai literatur. Memang jika menyangkut asal-usul nama Toraja masih perlu dikaji lebih mendalam sumber sejarahnya, dan hal tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah tanpa kerjasama dari berbagai pihak.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Diatas adalah beberapa versi yang sering kita baca dari berbagai literatur. Memang jika menyangkut asal-usul nama Toraja masih perlu dikaji lebih mendalam sumber sejarahnya, dan hal tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah tanpa kerjasama dari berbagai pihak.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum
abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun
1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen.
Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten
Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja
dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya,
dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor
pariwisata yang terus meningkat.
Identitas etnis
![]() |
Salah satu tarian tradisional suku Toraja |
Suku
Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka
sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan
Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan
sebagai kelompok yang sama.
Meskipun
ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak
keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di
kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang
berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai
sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran
tinggi.[3]Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki
hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku
Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Kehadiran
misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis
Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh
dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi
Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas,
meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut),
suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).[6]
Sejarah
![]() |
Tongkonan, rumah adat tradisional suku Toraja |
Teluk
Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya
sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara
ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut
tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran
tinggi.
Sejak
abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik
di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua
abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat
suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit
lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir
terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di
antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda
melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang
potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama
Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.
Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah
Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi
dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946,
Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris
Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh
Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang
tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat.
Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya
Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen.
Penduduk
Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda
berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan
agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan
Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk
mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang
berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada
tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam,
Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja
(aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang
dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus
diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969,
Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.\
![]() |
Upacara pemakaman adat Suku Toraja |
Masyarakat
Keluarga
Keluarga adalah
kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah
suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan
sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan
sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang
memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan
sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan,
untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara
timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam
pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
![]() |
Busana adat Suku Toraja |
Setiap orang
menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian,
mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan
utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya
dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman
dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara
kandung.
Sebelum adanya
pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing
desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika
satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri,
beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa
akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan
melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan),
secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual.
Pertukaran tersebut
tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi
juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang
menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan,
tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan
untuk masing-masing orang.
Kelas sosial
![]() |
Tongkonan, rumah adat Suku Toraja |
Dalam masyarakat
Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada
tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak
(perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda).
Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan
status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan
terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan
martabat keluarga.
Kaum bangsawan,
yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok
bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di
dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa
saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga
untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan
status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi
status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.
Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam
masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang
Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara
menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum
dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka
tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu
atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau
berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran
tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
![]() |
Gereja Sion, dibangun di atas bukit di Makale |
Sistem kepercayaan
tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam
mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan
tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara
berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut
aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia
bawah.
Pada awalnya, surga
dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian
muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan
tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi
adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi
dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong
Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan
lainnya.
Kekuasaan di bumi
yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan
pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang
pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan.
Tata cara Aluk bisa
berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum
adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah
jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual
tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang
Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.
Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Bahasa
Bahasa Toraja
adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai bahasa nasional adalah
bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja
pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.
Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi
terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang
diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.

Ciri yang menonjol
dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk
menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan
suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan
pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut
kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka
cita itu sendiri.
Ekonomi
Sebelum masa Orde
Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering
di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong
dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk
berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di
Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya
Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan
membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan
pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di
perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke
Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa.
Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja
secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984.
Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan
dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual
cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia
pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah
menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal
sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
Komersialisasi
![]() |
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu. |
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun
1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun
1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972,
sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari
Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja
terakhir yang berdarah murni.
Peristiwa tersebut
didokumentasikan olehNational Geographic dan disiarkan di beberapa
negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan
pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika
Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di
brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.
Pada tahun 1984,
Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja
sebagaiprimadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai
"perhentian kedua setelahBali". Pariwisata menjadi sangat meningkat:
menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi
Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing
tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual
di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata
yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun
1981.
Para pengembang
pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis,
memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk
mengunjungi desazaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah
tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat
pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja
merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah
dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut
terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara
masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang
luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara
para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
(sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah
menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai
"objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada
daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah
tongkonan dan tempat pemakaman mereka.
Hal tersebut
ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa
bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar.
Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang
ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan.
Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk
desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan
suvenir.
Pariwisata juga
turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang
memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan
demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra
masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis
hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi
dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja
menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara
memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
0 komentar:
Posting Komentar